Terletak di Jalan Gajahmada No. 59, Surakarta, Jawa tengah, Monumen Jurnalis Nasional demikian istimewa dengan warna abu kehitam-hitaman. Monumen ini direncanakan oleh Mas Aboekassan Atmodirono, seorang arsitek pertama kali yang terlahir di Wonosobo, 18 Maret 1860. Mas Aboekassan Atmodirono terdaftar sebagai satu diantara demikian anak-anak pribumi yang untung karena bisa mengenyam pengajaran bersama anak-anak Eropa.
Konsep bangunan gedung ini termasuk unik karena menyatukan style Hindu-Buddha yang diikuti karena ada ornament seperti stupa pada bagian atap gedung dan muka bangunan tingkat seperti candi, dan style penjajahan Indonesia pada periodenya yang berbentuk beberapa pilar memiliki ukuran besar pada bagian depan bangunan dan ukuran jendela dan pintu yang besar. Sisi depan bangunan diperlengkapi sarana update koran lokal atau nasional (mencakup: Kompas, Solo Pos, Republika, dan Kedaulatan Rakyat).
Koleksi yang dipunyai Monumen Jurnalis mencakup lebih satu juta media massa dan majalah semenjak periode sebelum dan setelah Revolusi Nasional Indonesia dari beragam wilayah di Nusantara. Koleksi lain berbentuk tehnologi komunikasi, cetakan koran dengan seperti plakat besi, pesawat radio unik, camera, mesin ketik, dan baju reporter.
Ketika masuk pintu khusus bangunan ini, pengunjung akan disongsong dengan prasasti yang diberi tanda tangan oleh bekas Presiden Soeharto untuk pengesahan gedung. Selanjutnya, disamping kanan dan kiri ruangan depan ada 10 pahatan kepala beberapa tokoh penting dalam riwayat wartawanme Indonesia, yaitu Dr. Abdoel Rivai, Soetopo Wonobojo, R. Bakrie Soeriatmadja, Tirto Adhi Soerjo (jadi figur yang memberikan inspirasi tetralogi kreasi Pramoedya Ananta Toer), Dr. Danoedirdja Setiaboedi (atau yang lebih dikenali sebagai Ernest Douwes Dekker), Djamaluddin Adinegoro, Dr. GSSJ Ratulangi, R.M. Bintarti, R. Darmosoegito, dan R.M. Soedarjo Tjokrosisworo.
Di belakang ruangan depan ada diorama yang memvisualisasikan perubahan komunikasi dan jurnalis sejauh riwayat Indonesia dari periode prakolonial sampai keadaan jurnalis sesudah diawali zaman reformasi di tahun 1998 yang longgarkan kebebasan jurnalis. Diambil dari Harian Kompas yang keluar pada 10 Februari 1985, Presiden Soeharto memutuskan Hari Jurnalis Nasional (HPN) bertepatan dengan hari ulang tahun Persatuan Reporter Indonesia (PWI) yang ke-39. “Perkembangan dan kenaikan jurnalis nasional akan memberinya nilai positif untuk perubahan dan perkembangan bangsa Indonesia,” ucapnya waktu itu.
Koleksi yang lain mempunyai daya magnet adalah pemancar radio yang dahulu dipunyai Solosche Radio Vereeniging (SRV). Pemancar radio ini pernah dipakai untuk siarkan musik gamelan dari Keraton Mangkunegaran untuk menemani Gusti Nurul menari di Den Haag dalam acara pernikahan Putri Juliana dengan Pangeran Berhnard di tahun 1936.
Selain museum, peranan lain dari Monumen Jurnalis Nasional ini berbentuk perpustakaan dan kearsipan. Menurut Kepala Monumen Jurnalis Nasional, Widodo Hastjaryo saat interviu dengan Republika, museum ini mempunyai 20 ribu judul bahan pustaka, 16 ribu salah satunya berbentuk buku dan selebihnya berbentuk buletin dan koran.
Lantai dua halaman berisi arsip koran digital. Koran dari baris periode itu disuguhi dalam frame yang ditempel di dinding-dinding bangunan monumen jurnalis. Koran itu terdaftar dimulai dari koran yang diedarkan pada pemerintah Hindia Belanda sampai koran yang exist sekarang ini. Selainnya arsip koran digital, beragam info riwayat berkenaan jurnalis seperti baju beberapa reporter, rekaman jurnalis pada periode lalu, beragam photo, dan beragam wacana riwayat jurnalis lain juga diperlihatkan. Monumen jurnalis sediakan ruangan baca di lantai dua bangunan, tempat untuk beberapa siswa, mahasiswa, dan keluarga menambahkan khasanah keilmuan lewat kegiatan membaca.
Komentar
Posting Komentar