Pada 7 Oktober 2019, Komite Nobel dari Karolinska Institute, Swedia menganugerahkan penghargaan Nobel dalam sektor fisiologi atau kedokteran ke 3 orang sekalian. Tidak berbeda jauh dari tahun awalnya, juara penghargaan Nobel kedokteran kembali lagi dicapai oleh periset yang memiliki kepakaran dalam sektor biologi sel. Mereka ialah William G. Kaelin Jr., Sir Peter J. Ratcliffe dan Gregg L. Semenza. Ke-3 periset ini dipandang sudah berjasa secara mandiri mendapati proses molekuler penyesuaian sel pada peralihan kandungan oksigen. Seperti kita kenali, pemakaian oksigen sebagai salah satunya proses yang terpenting dalam mendukung lanjutan kehidupan.
Oksigen, yang dikenal juga dengan formulasi O2, membuat lebih kurang seperlima udara yang berada di bumi. Makhluk hidup, terutamanya sel hewan, memerlukan oksigen pada proses perpecahan sari makanan jadi energi yang dibutuhkan oleh badan. Otto Warburg sebagai juara hadiah Nobel kedokteran tahun 1931 menerangkan jika proses itu mengikutsertakan rangkaian kejadian enzimatis dalam organ sel yang disebutkan mitokondria.
Meskipun peranan oksigen benar-benar penting untuk makhluk hidup, jumlah oksigen yang ada untuk sel tidak masih tetap. Sel dan jaringan selalu berhubungan dengan peralihan kemampuan oksigen, misalkan di saat perkembangan dan perubahan embrio pada awal kehidupan dan kerja otot pada jaringan yang sudah dewasa. Pada kasus tertentu, jumlah tersedianya oksigen untuk sel berbeda benar-benar mencolok seperti saat kita ada di lokasi yang tinggi sekali atau juga bisa peralihannya cuman memiliki sifat lokal seperti timbulnya cedera yang merintangi saluran darah.
Semua proses itu menggerakkan sel untuk menyesuaikan dalam jumlah oksigen yang mereka punyai dengan masih tetap menjaga peranan umumnya. Proses penyesuaian ini dikenal juga dengan istilah tanggapan hipoksia (hypoxic response). Nach, mengenai bagaimana proses tanggapan hipoksia itu berjalan akan kita bahas pada tulisan ini.
Penemuan multiprotein HIF
Jauh saat sebelum proses detil penyesuaian sel pada oksigen diketemukan, sebenarnya telah ada periset yang pelajari mengenai peralihan kandungan oksigen pada tubuh. Corneille Heymans di tahun 1931 mendapati jika tubuh carotid (carotid bodi) yang berada di dekat pembuluh darah di ke-2 segi leher, memiliki kandungan sel khusus yang sanggup mengetahui tingkat oksigen pada darah. Tidak itu saja, lewat tubuh karotid ini dijumpai jika oksigen pada darah akan mengatur kecepatan pernafasan dengan berbicara langsung dengan mekanisme saraf pusat yang berada di otak.
Dalam perjalanannya, selainnya lewat kerja tubuh karotid, penyesuaian oksigen rupanya dijumpai berjalan pada mekanisme kerja hormon eritropoietin (EPO). Bersamaan berkurangnya jumlah oksigen atau pada keadaan hipoksia, tingkat hormon EPO akan bertambah dan menginisiasi pembangunan beberapa sel darah merah yang baru (eritropoiesis) untuk mengikat lebih banyak oksigen. Peranan penting hormon EPO telah dijumpai, tapi proses oksigen dalam mempengaruhi proses itu masih jadi mistis.
Gregg L. Semenza, profesor di Johns Hopkins University Baltimore, adalah periset yang berdedikasi pelajari jalinan di antara gen EPO dengan macam tingkat oksigen. Beliau mendapati jika fragmen DNA yang bersisihan dengan fragmen gen EPO bisa dibuktikan memediasi tanggapan hipoksia. Lebih jauh, Semenza sukses mengenali kompleks protein yang berikatan dengan fragmen DNA yang dideteksi itu. Menariknya, peralihan model ikatan di antara kompleks protein dengan fragmen DNA yang diketemukan barusan, tergantung dengan macam jumlah oksigen yang ada.
Semenza selanjutnya memberikan nama kompleks proteinnya dengan panggilan hypoxia-inducible faktor (HIF). Protein HIF terdiri dari 2 protein yang berikatan dengan DNA, yakni HIF-1α dan ARNT. Jumlah protein ARNT dalam sel ialah masih tetap, sedang jumlah protein HIF-1α selalu bervariatif sesuaikan tingkat oksigen yang ada. Penemuan multiprotein HIF seterusnya jadi dasar yang kuat untuk menyingkap proses penyesuaian sel pada oksigen.
Protein VHL yang ikut ambil peran
Sebagaimana diterangkan awalnya, jumlah protein HIF selalu berbeda tergantung dalam jumlah oksigen yang ada. Saat jumlah oksigen rendah atau pada keadaan hipoksia, jumlah protein HIF dalam sel akan naik untuk menggerakkan produksi EPO. Kebalikannya, saat jumlah oksigen ada pada tingkat normal, sel cuman memiliki sedikit protein HIF. Berdasar beberapa riset, keadaan ini dikarenakan oleh pada keadaan oksigen normal, protein HIF didegradasi oleh proteasome, semacam enzim yang pekerjaannya makan protein yang tidak dibutuhkan dalam sel. Proteasome bisa mengetahui kehadiran protein HIF dengan mengenal ada pertanda yang melekat pada protein HIF tersebut berbentuk ubiquitin. Lantas, bagaimana ceritanya ubiquitin bisa melekati protein HIF hingga dikenal oleh proteasome?
Jawaban pertanyaan di atas tiba dari William J. Kaelin, Jr., profesor pakar kanker di sekolah kedokteran Kampus Harvard Amerika. Kaelin lakukan riset mengenai penyakit turunan yang disebutkan von Hippel-Lindau (VHL). Perubahan VHL tingkatkan risiko timbulnya kanker tertentu. Kaelin mendapati jika sel kanker yang kekurangan protein VHL menghasilkan gen berkaitan hipoksia dengan jumlah tinggi. Kebalikannya, saat protein VHL diinduksikan kembali lagi ke sel kanker itu, jumlah gen hipoksia kembali ada dengan jumlah yang normal. Ini memperlihatkan jika protein VHL juga memiliki peranan penting dalam mengatur hipoksia. Ini seterusnya ditunjukkan oleh team periset dari Kampus Oxford, Inggris yang dipegang oleh Sir Peter J. Ratcliffe. Profesor Ratcliffe memperlihatkan jika VHL jadi sisi dari kompleks ubiquitin sebagai pertanda protein HIF hingga bisa dikenal dan didegradasi oleh proteasome pada keadaan tingkat oksigen yang normal.
Jadi, pada bagian mana oksigen ambil peranan?
Baik Kaelin atau Ratcliffe selanjutnya meneruskan penelitian mereka dengan fokus pada dua protein pokok yang sudah diketemukan, yaitu HIF-1α dan VHL. Mereka menyampaikan jika pada tingkat oksigen yang normal, gugusan hidroksil akan dipertambah pada protein HIF-1α yang selanjutnya jadi jembatan melekatnya protein VHL pada HIF-1α itu. Melekatnya VHL pada HIF-1α jadi seperti perintah untuk proteasome untuk selekasnya makan protein HIF-1α hingga banyaknya jadi sedikit pada tingkat oksigen normal. Proses ini disebutkan dengan hidroksilasi gugusan prolil (prolyl hydroxilation) yang berjalan dengan kontribusi enzim prolil hidroksilase. Dengan begitu, lengkaplah jawaban mistis proses penyesuaian sel pada peralihan kandungan oksigen yang berada di lingkungannya.
Penemuan Nobel 2019 pada sektor fisiologi atau kedokteran sudah buka mistis lama pelajaran biologi dasar mengenai pendayagunaan oksigen sebagai beberapa ciri makhluk hidup. Penemuan ini jadi injakan riset kelanjutan untuk pengatasan beragam jenis penyakit seperti anemia dan kanker. Peningkatan beberapa obat untuk therapy anemia mulai ambil dasar proses ini dengan meningkatkan gestur protein HIF hingga didapat hormon EPO yang tinggi yang seterusnya berpengaruh pada pertambahan produksi sel darah merah.
Di segi lainnya, therapy kanker bisa dilaksanakan dengan tekan ekpresi protein HIF pada sel kanker hingga pembangunan jaringan darah yang baru bisa didesak dan mempunyai potensi merintangi ada supply gizi untuk sel kanker itu. Dengan begitu, penemuan ini bukan hanya memberinya sumbangsih secara teoritis tetapi juga ringkas untuk dunia biologi secara umum dan kedokteran pada terutamanya.
Referensi:
Komentar
Posting Komentar